Beranda | Artikel
Makna Rukun Iman yang Pertama
Jumat, 7 Februari 2014

Buletin At Tauhid Edisi 6 Tahun X yaallah

Bismillah. Pembaca yang dimuliakan Allah, siapakah di antara kita yang tidak ingin merasakan manisnya iman? Tentu, semua ingin merasakan manisnya iman. Karenanya, renungkanlah hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berikut, Akan merasakan manisnya iman, seseorang yang ridha dengan Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim). Dengan demikian, mungkinkah seseorang akan merasakan benar-benar ridha dengan Allah sebagai Rabb-nya jika ia tidak tahu makna dari rukun iman yang pertama yaitu iman kepada Allah? Iman bukan hanya pengakuan di lisan saja akan tetapi iman harus diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata. Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman bukanlah angan-angan atau pengakuan semata, tetapi iman adalah keyakinan yang tertancap dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan

Pembaca yang budiman, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan di kitab Nubdzah Fil Aqidah Al Islamiyyah bahwa keimanan kepada Allah mengandung 4 unsur, yaitu :

Pertama, mengimani adanya Allah.

Keberadaan Allah dapat ditunjukan dengan 4 dalil yaitu fitrah, akal, syariat, dan indrawi. Secara fitrah, sesungguhnya setiap makhluk yang diciptakan secara otomatis beriman kepada penciptanya tanpa belajar terlebih dahulu. Tidak ada yang menyimpangkan fitrah ini kecuali penyimpangan yang ada dalam hatinya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada anak yang lahir kecuali telah memilki fitrah (beriman kepada Allah-pen) lalu orang tuanya lah yang menjadikan ia yahudi, nasrani atau majusi” (HR Bukhari)

Secara akal, semua makhluk yang ada di dunia ini baik yang terdulu maupun yang akan datang mengharuskan adanya sang Pencipta yaitu Allah. Mungkinkah makhluk itu secara tiba-tiba tanpa ada yang menciptakannya? Bukankah seadainya ada orang yang mengatakan bahwa bangunan ini tercipta dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan tentu kita akan mengingkari orang tersebut? Lalu, bagaimana dengan adanya alam semesta ini?

Secara syariat, semua kitab suci yang telah Allah turunkan memberitakan tentang adanya Allah. Bukankah segala aturan yang terkandung di dalamnya menunjukan adanya Rabb yang Maha Tahu dengan kemaslahatan makhluknya?

Secara indrawi, bukankah kita pernah mendengar bahkan menyaksikan terkabulnya doa seseorang? Seperti yang Allah ceritakan dalam firman-Nya (yang artinya), “Ingatlah kisah Nuh ketika ia berdoa sebelumnya lalu Kami mengabulkan doanya” (QS. Al Anbiyaa : 76). Kemudian, bukankah para Nabi diberikan mukjizat yang dapat dilihat dan didengar? Hal ini adalah dalil tegas tentang adanya Dzat yang mengutus mereka, yaitu Allah. (lihat Nubdah, hal 16-21)

Kedua, mengimani rububiyyah Allah

Yang dimaksud dengan mengimani rububiyah Allah adalah mengimani bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb dan tidak ada sekutu baginya. Rabb adalah yang mencipta, yang menguasai, dan yang mengatur alam semesta. Allah berfirman (yang artinya), “Jika Engkau bertanya kepada mereka (orang-orang musyrik), ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi’pasti mereka akan menjawab, ‘Yang menciptakannya adalah Allah yang Maha Agung dan Maha Tahu’.” (QS. Az Zukhruf : 9)

Allah berfirman (yang artinya), “Itulah Allah, Rabb kalian, kepunyaan-Nya lah kerajaan, dan orang-orang yang kalian ibadahi dari selain Allah tidak memiliki apa pun walau setipis kulit ari” (QS. Fathir : 13). (lihat Nubdah, hal 21-23)

Ketiga, mengimani uluhiyah Allah

Yang dimaksud dengan mengimani uluhiyyah Allah adalah mengimani bahwa Allah adalah satu-satunya ilah yang berhak dibadahi. Tidak ada sekutu baginya. Ilah artinya yang diibadahi karena kecintaan dan pengagungan. Allah berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya selain Allah yang diibadahi oleh mereka (orang-orang musyrik), itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al Hajj : 62). Allah menilai batilnya sesembahan orang musyrik. Karena, selain Allah adalah makhluk yang tidak memiliki apa pun dan tidak dapat memberikan manfaat kepada penyembahnya serta tidak dapat menolak bahaya yang menimpa dirinya.

Seseorang yang telah mengimani rububiyyah Allah mengharuskannya untuk mengimani uluhiyyah Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, beribadahlah kalian kepada Rabb kalian yang telah mencipatakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (QS Al Baqarah : 21). (lihat dari Nubdah, hal 23-26)

Keempat, mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah

Yang dimaksud dengan mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya di Al Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tanpa melakukan penyimpangan. Iniadalahsalah satu prinsip aqidah ahlus sunnah wal jama’ah.

Allah berfirman (yang artinya), “Milik Allah-lah nama-nama yang indah maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya. Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpangkan nama-nama-Nya. Mereka akan dihukum dengan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al A’raf : 180). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dia tidak semisal dengan apapun. Dialah Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura : 11). (lihat Nubdah, hal 23-26).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa bentuk menyimpangkan sifat-sifat Allah ada 4 yaitu tahrif, ta’thil, takyif dan tamsil. Tahrif adalah mengubah lafadz atau makna dari yang seharusnya. Contoh bentuk tahrif yaitu menaknai tangan Allah dengan kekuatan dan nikmat. Ta’thil adalah mengingkari semua nama dan sifat bagi Allah yang telah Allah tetapkan untuk dirinya atau mengingkari sebagiannya. Contoh bentuk ta’thil adalah meniadakan tangan bagi Allah. Takyif adalah mendiskripsikan sifat-sifat Allah dengan begini dan begitu. Contoh bentuk takyif adalah mendeskripsikan bahwa tangan Allah itu begini dan begitu. Tamsil adalah menyamakan sifat-sifat Allah dengan makhluk. Contoh bentuk tamsil yaitu menyamakan tangan Allah dengan tangan manusia. (lihat Syarh Al ‘Aqidah Al Islamiyyah, hal 57-77)

Kemudian, beliau rahimahullah juga menyampaikan bahwa bentuk menyimpangkan nama-nama Allah ada 5 yaitu pertama, tidak menamai Allah dengan nama-nama yang telah ditetapkan oleh Allah. Kedua, mengingkari semua atau sebagian nama-nama Allah. Ketiga, menetapkan bahwa nama Allah tidak mengandung sifat. Keempat, menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah disertai dengan penyerupaan dengan makhluk.Kelima, mengambil dari nama-nama yang khusus bagi Allah sebagai nama-nama makhluk. (lihat syarh Al ‘Aqidah Al Islamiyyah, hal 78-81)

Buah dari Iman

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa di antara buah dari iman yaitu Pertama, masuk surga dan selamat dari neraka. Kedua, Allah melindungi orang-orang ebriman dari kejelekan dunia dan akhirat serta dari tipu daya syaitan. Ketiga, Allah memberikan janji pertolongan kepada orang yang beriman. Keempat, hidayah Allah berupa ilmu dan mempraktekannya bergantung pada iman. Kelima, iman menjadi sebab bertambahnya ilmu dan amal. Keenam, tidak mungkin seorang hamba dapat beribadah dengan baik kepada Allah kecuali dengan iman. Ketujuh, hubungan antar manusia akan sempurna jika berlandaskan iman. Kedelapan, iman adalah sebab terbesar untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Kesembilan, iman akan membantu seseorang untuk besabar ketika berada dalam kesulitan. Kesepuluh, iman akan membuahkan kualitas tawakal yang luar biasa kepada Allah. Kesebelas, iman akan membuah akhlak yang terpuji (lihat Taisir Al Lathif Al Manan, 82-91)

Sebab Pelemah Iman

Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin hafidzahullah menyampaikan bahwa di antara faktor penyebab turunnya iman. Pertama, bodoh tentang ilmu agama. Kedua, hati yang lalai. Ketiga, mengerjakan maksiat. Keempat, mengikuti hawa nafsu. Kelima, mengikuti bujukan syaitan. Keenam, berlebihan dengan urusan dunia. Ketujuh, teman yang jelek. (lihat Asbab Ziyadah Al Iman wa Nuqshanihi, hal 77-105)

Semoga Allah senantiasa memberikan dan menambahkan ilmu yang bermanfaat bagi kita dan hanya kepada Allah kita memohon taufik.

Penulis : Fitriyansah (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/makna-rukun-iman-yang-pertama/